Rabu, 03 Maret 2010

Antara saya, Aristoteles dan Plato

Saya sangat berterimakasih kepada Alm. J.D. Parera yang memperkenal kan saya kepada filsafat, yang mengairi otak saya yang gersang dengan pikiran-pikiran luar biasa dari tokoh-tokoh filsafat yang hebat.

Saya tidak akan pernah lupa kuliah pertama saya dengan beliau. Kuliah dasar-dasar filsafat di semester pertama saya di UNJ. Saya benar-benar buta akan filsafat pada saat itu, sekarangpun saya masih meraba-raba, kaget bukan kepalang Alm. Pak Parera bertanya satu pertanyaan dasar. Pertanyaan pembuka tema kuliah yang sederhana namun mendasar, pertanyaan yang akan selalu terkenang seumur hidup saya. Beliau bertanya dengan sopan “Alaydrus, apa itu filsafat?” luar biasa saya tidak tahu apa itu filsafat. Saya terdiam lama sekali, mencoba mengingat-ingat buku filsafat yang saya baca beberapa hari sebelum kuliah perdana, ternyata itu sia-sia belaka karena tak ada satu kalimat lengkap yang saya ingat dari buku tersebut. Seadanya saya menjawab. “filsafat itu seperti menengadah keatas, mencari jawaban dari apa yang kita pikirkan” jawaban yang sungguh dangkal. Beliau menanggapi dengan raut muka yang tenang “Alaydrus, maka kamu adalah Plato.” Pernyataan beliau ini yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa saya Plato kenapa saya bukan Aristoteles yang agung. Aristoteles yang saya kenal semenjak saya SMP. Aristoteles, yang mewarnai buku Biologi dan Tata Negara saya saat SMA. Astaga!!

Saat itu beliau hanya menjelaskan dengan kalimat tersirat bahwa Plato selalu melihat ke atas dan Aristoteles selalu melihat ke bawah. Butuh waktu yang lama bagi saya untuk memahami penjelasan beliau. Saya sadar bahwa Plato pendiri akademi Plato, Guru dari Aristoteles, murid Socrates, penyair, Plato yang hidup di dunia idenya mencari jawaban dari semua pertanyaan melalui ide-ide bawaan. Dia meyakini kebenaran abadi, keindahan abadi an kebaikan abadi sesungguhnya hidup di balik dunia material, hidup di dunia ide. Sedangkan muridnya Aristoteles, murid pembangkang yang menyempurnakan ilmu sang guru, murid yang mememisahkan diri dari filsafat kemanusiaan sang guru. Dia, Aristoteles memilih untuk merendahkan diri kepada alam. Maka dia adalah seorang filsafat agung sekaligus ahli biologi pertama di daratan Eropa. Dia menyempurnakan pemikiran sang guru, dia mengeluarkan ide-ide bawaan sang guru menjadi lenbih nyata dari sekedar fenomena alam. Jika sang guru, Plato, menggunakan akalnya maka Aristoteles menggunakan akal dan perasaannya pula. Aristoteles berpeganggan dengan substansi dan bentuk dalam kesatuan realitas. Dia memilih hidup dalam realitas dan berpisah jalan dengan sang guru yang hidup di dunia ide.

Ketika saya sedikit memahami meraka, saya tidak ingin menjadi Plato. Saya ingin menjadi Aristoteles yang akal dan perasaannya sejalan. Sya tidak mau selalu menenggadah keatas. Saya ingin merendahkan diri kepada alam, berjingkat-jingkat di tangga alam Aristoteles. Saya ingin substansi dan bentuk. Saya ingin hidup di dalam realitas bukan sekedar ide semata.

Hal ini berkelebatan di kepala saya sampai pada suatu hari [2 tahun setelah itu] dosen saya Bpk. Ifan Iskandar memaksakan murid-muridnya di kelas sejarah pemikiran modern untuk membaca sebuah novel filsafat yang luar biasa ‘Dunia Sophie’ karya Jostein Gaarder dari Norwegia. Novel ini mengajak saya berdialog singkat dengan Plato dan Aristoteles, saya terbuai sekaligus patah hati dengan Aristoteles The Great, sang pujaan hati dan pikiran. Ternyata dia pernah memandang kaum saya sebagai ladang. Ternyata dia tak seindah Plato saat memandang wanita. Dia cenderung percaya bahwa wanita tidak sempurna dalam beberapa hal. Dia mengatakan bahwa wanita adalah ‘pria yang tidak sempurna’ dan dalam hal reproduksi wanita bersifat pasif dan reseptif [sungguh berharap seandainya Aristoteles pernah membaca Cosmopolitan haha..]. Dia juga percaya bahwa semua sifat anak terkumpul lengkap dalam sperma pria [oh my God!]. Dia berpikir bahwa jenis saya adalah ladang yang menerima benih dan menumbuhkannya dan pria adalah petani yang menanam. Maka dalam bahasa Aristoteles pria menyediakan bentuk, sedangkan wanita menyumbangkan substansi. Ternyata My Ari had missed interpret the relation between man and woman sexually. Dia lalai dalam hal ini mungkin karena dia tidak punya banyak pengalaman praktis dengan wanita dan anak-anak [kali ini benar-benar berharap Dia membaca tabloid Mom and Kiddy]. Sangat disayangkan ternyata pemikirannya lah yang berpengaruh sepanjang abad pertengahan dan bukan pemikiran Plato yang praktis tentang wanita.

Karena buku ini saya berubah pikiran, saya tidak ingin menjadi satu orang saja, saya ingin Plato dan Aristoteles. Saya egois, ya saya egois, untuk pikiran Anda terkadang memang harus egois. Tidak konsisten, bukan ini bukan tidak konsisten, ini yang namanya berkembang. Maka saya ingin berpikir bak Aristoteles dan mencintai bak Plato. Toh saya tidak akan selamanya memandang ke atas dan tak selalu harus melihat ke bawah. Memang sudah sepantasnya ide berpasangan dengan realitas, walaupun para pemikirnya berpisah jalan.

P.s. this writings dedicated to Alm. Jusuf Daniel Parera who had introduced me with philosophy and Ifan Iskandar, M.Hum who had pushed us, his students, to read a lot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar